KEPUTUSAN Mendikbud Anies Baswedan untuk menghentikan Kurikulum 2013 menuai beragam tanggapan. Ada yang menilai terlalu terburu-buru. Ada pula yang menilainya sebagai langkah berani. Untuk membandingkan dua penilaian itu, patut dipikirkan aspek politik dalam penetapan kurikulum.
Sebagaimana moneter, pertahanan, maupun pertanian, kurikulum merupakan produk politik. Keputusan pemerintah mengenai kurikulum juga merupakan keputusan politik.
Di balik keputusan tersebut, tersimpan filosofi dan asumsi-asumsi politik. Jejak filosofis dan asumsi-asumsi politik dalam kurikulum dapat ditelusuri. Tidak hanya pada Menteri Anies, melainkan juga menterimenteri yang mendahuluinya.
Sebagai produk politik, kurikulum bisa dipandang sebagai “alat” negara untuk mencapai tujuan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara etimologis, kurikulum berasal dari kata currere yang berarti lintasan pacu, “jalan menuju”, atau “proses menuju”.
Pada aspek lain, dalam konstitusi kita, pendidikan menjadi kewajiban negara. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan untuk mencerdaskan rakyatnya. Meski demikian, pendidikan bukan semata-mata tujuan nasional. Pendidikan juga bersifat individual.
Pendidikan adalah strategi pembelajar agar seseorang mengenal dunia dengan lebih baik. Pendidikan adalah strategi individual untuk mengoptimalkan potensi-potensi kemanusiaan yang dimiliki. Pendidikan juga merupakan cara bagi pembelajar agar dapat meraih halhal yang diidamkannya.
Asumsi Masa Depan Terkait dengan tujuan, hal yang harus didudukkan pemerintah adalah asumsi ideal masa depan. Pendidikan merupakan sarana bagi manusia untuk menyiapkan kehidupan yang lebih baik pada masa kini dan masa mendatang.
Manusia sebagai subjek adalah agen yang menentukan ketercapaian kondisi ideal tersebut. Karena itu, agar asumsi ideal tersebut realistis, manusia muda saat ini perlu menyiapkan diri melalui proses belajar.
Kini, pertanyaan yang harus diajukan, apakah bangsa kita telah memiliki ilustrasi yang mapan mengenai kehidupan ideal pada masa depan? Bagaimana Indonesia pada satu, dua, atau tiga dekade mendatang?
Dalam berbagai teks kenegaraan, kondisi ideal bangsa Indonesia digambarkan dengan tiga kata, yakni “maju, adil, dan makmur”. Agar kondisi itu bisa terwujud, yang harus dilakukan adalah melahirkan manusia Indonesia yang memiliki kemauan serta kapasitas membangun bangsa demikian.
Nah, untuk mengonfirmasi hal itu, perlu dipertanyakan apakah pendidikan Indonesia telah cukup layak untuk melahirkan manusia Indonesia yang maju, adil, dan makmur?
Pada era pra kemerdekaan, pendidikan nasional yang dipelopori Ki Hadjar Dewantara di Taman Siswa, Muhammad Sjafei di INS Kayutanam, serta Tan Malaka di Sekolah Rakyat (SR) memiliki agenda yang sangat jelas, yakni mewujudkan kemerdekaan. Karena itu, “kurikulum” yang disiapkan tokoh pergerakan tersebut adalah kurikulum yang memerdekakan.
Ketika kemerdekaan sudah diraih, agenda kebangsaan kembali berubah. Sejak saat itu, energi bangsa diarahkan pada penataan sosial, pembangunan ekonomi, serta sumber daya manusia. Perubahan prioritas hidup berbangsa itu juga mengubah kurikulum pendidikan.
Keterkaitan kurikulum dengan agenda politik juga terjadi di sejumlah negara. Pada 1950-an, peluncuran Sputnix oleh Uni Soviet telah mengubah orientasi pendidikan Amerika Serikat. Mereka tidak ingin (tampak) kalah oleh kompetitornya. Karena itu, AS menetapkan kurikulum dengan desain inovasi. Melalui kurikulum, AS membangun tradisi bangsanya sebagai bangsa inovator.
Warga dan pemerintah Bhutan, negara kecil di Pegunungan Himalaya, tidak memandang pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas hidup bersama. Mereka lebih tertarik hidup bahagia dan tenang melalui jalan spiritual dan altruism. Karena itu, dalam proses pengajaran kepada generasi muda, mereka lebih menekankan pada hal-hal spiritual.
Menghindari Trial Hingga sejauh itu, bisa dipahami bahwa perubahan kurikulum akan terus terjadi seiring dengan perubahan landscape politik di Indonesia.
Hal yang patut dicermati adalah bagaimana perubahan itu dijalankan. Apakah perubahan telah dilandasi penelitian evaluasi yang kuat atau hanya “semau menteri”? Menurut Soedijarto (2004) dari serangkaian perubahan kurikulum, yang didasarkan atas hasil penilaian nasional pendidikan (national assessment) hanyalah Kurikulum 1975 dan Kurikulum PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (1974–1981). Selebihnya merupakan perubahan yang didasarkan atas asumsi teoretis, bukan atas dasar temuan-temuan hasil evaluasi secara sistematis.
Sikap religius sebaiknya juga menjadi agenda pokok kurikulum. Sikap hidup itu memiliki dasar historis yang jelas karena leluhur bangsa Indonesia adalah orang-orang yang beriman. Mereka percaya bahwa ada kekuatan besar yang menjadi sebab segala sebab. Adapun masyarakat multikultural, mereka juga harus menjadi agenda utama pendidikan. Sebab, negara yang didirikan leluhur kita adalah negara milik bersama.
Dengan latar pemikiran tersebut, guru, siswa, dan orang tua siswa tidak perlu khawatir berlebihan dengan pergantian kurikulum. Perubahan kurikulum adalah keniscayaan. Lagi pula, Mendikbud Anies Baswedan mengakui kebaikan Kurikulum 2013. Hanya, dia mengaku terlalu terburu-buru diimplementasikan.
Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum
*) Rektor Universitas Negeri Semarang ([email protected])